Kisah Romantistis
/
4 Comments
Hola, holaa… Tiba-tiba kepikiran buat nulis lagi. Entah kenapa
tiba-tiba kepikiran buat nyeritain gimana kondisi percintaan gue selama ini.
Tidak seperti judulnya, ini bukanlah sebuah cerita romantis dimana ada seorang
pria dan wanita bertemu dengan indahnya trus jadian. Ini kisah gue, gak seindah
itu. Judulnya supaya memikat pembaca saja. Hhhh….
Ini merupakan cerita bagaimana gue sebagai seorang pria bisa suka atau
bahkan sampai jatuh cinta kepada seorang wanita. Untungnya wanita. Bagi gue, suka
itu merupakan kewajaran. Jatuh cinta itu memang semestinya. Nah, kalo lawan
jenis itu keharusan. Gila aja kan kalo bukan lawan jenis. Oke gue gak mau
ngebayanginnya.
Sebagian besar cerita ini sudah pernah gue ceritakan kepada Nanda.
Siapa Nanda? Hayo tebak. Mungkin setelah membaca beberapa cerita ini kalian
bisa menebaknya. Untuk penamaan ada yang gue samarkan ada juga yang gue
samarkan juga (lah).
Cerita ini berawal ketika gue masih duduk lucu di bangku TK. Yap. Taman
Kanak-kanak. Entah perkembangan hormon gue yang udah bangkit duluan atau entah
benturan benda keras apa yang menghantam kepala gue yang membuat gue, mmm, bisa
disebut jatuh cinta saat TK. Mungkin gak bisa disebut jatuh cinta. Namanya juga
anak-anak.
Namanya Cindy. Saat itu gue masih berada jauh di timur Indonesia. Gue
yang waktu itu ikut ayah gue yang bekerja disini, haruslah juga mengenyam
pendidikan. Jadi saat balik lagi ke asal gue, Jakarta. Gue gak bego-bego amat.
Yap, lanjut ke Cindy. Dia bukan gadis oriental, jarang ditemukan
disini. Dia juga bukan gadis sawo mateng, jarang juga ditemukan disini. Kulitnya
lebih coklat dari biasanya. Hmm, tau kan coklat? Manis. Dia satu kelas dengan
gue waktu itu. Tapi kita berbeda jarak. Dia di bangku sana, gue
di bangku sini. Hanya berjumpa via suara. Sadis. Yak, bagi gue yang masih
bertubuh kecil jarak segitu terasa jauh sekali. Beneran. Waktu kecil dulu tuh dari
ruang tamu ke kamar kecil aja terasa sangat jauh. Apalagi dirinya yang berada
di seberang sana yang hanya diam tanpa tahu ada gue yang sedang duduk termangu
menatapinya. Oke cukup alaynya.
Gue menyukai Cindy saat itu karena wajahnya yang
manis, tampilannya yang modis (anak TK modis, sadis), dan karena baunya gak
amis. Yap,
kalian tau kan, terkadang anak-anak suka bau amis. Kenapa? Coba kalian
ingat-ingat dahulu saat kalian masih bocah ingusan. Nah, ingusan. Secara biadab
kita biasanya membersihkan ingus kita dengan baju yang kita kenakan. Baju
tersebut pun digunakan seharian. Amis kan. Cindy tidak seperti itu.
Hampir setiap hari gue ketemu Cindy. Namun tidak ada tegur sapa
diantara kita. Padahal kita teman sekelas. Kita sibuk dengan aktivitas
masing-masing. Dia sibuk memperhatikan pelajaran, gue sibuk memperhatikan dia. Dia sibuk bermain (bermain aja sibuk) di lapangan, gue sibuk manjatin pohon
di lapangan. Dia
sibuk makan, gue sibuk makan makanan orang lain. Kita seakan orang asing yang
berada pada satu tempat.
Pengasingan diri kita masing-masing itu akhirnya lepas juga. Saat itu
ada latihan tari untuk perpisahan angkatan gue. Tarian dilakukan dengan
berpasangan. Yap, gue berpasangan dengan Cindy. Ini udah kayak sinetron banget,
men. Gue kegirangan ketika tau berpasangan dengan Cindy. Tiap hari gue bakal
bisa ngobrol sama dia. Setidaknya kita bisa saling kenal nantinya.
Saat latihan berlangsung gue hanya terdiam. Gue kira gue bakal bisa ngobrol
sama dia waktu itu. Tapi mau ngobrol apa coba. Nanya hari ini hari apa? Nanya
kalo hari selasa itu hari apa? Fail banget. Gue akhirnya membiarkan mengalir
begitu saja. Tanpa disadari muncul sedikit percakapan tiap harinya.
Sehari sebelum pentas adalah hari yang mengesalkan. Bukan karena Cindy
pindah terus gue mengejarnya hingga bandara, bukan. Kita masih anak TK. Ruang
tamu ke kamar mandi aja jauh, apalagi bandara. Hari itu adalah hari latihan
terakhir tari kita. Ini bukan karena sebentar lagi kita akan berpisah. Gue gak
segalau itu. Ini karena saat sesi latihan terakhir, tiba-tiba ada seorang anak
yang juga ikut latihan merubah pasangan di tengah tarian. Sebut saja anak ini
kelelawar. Gue tidak terlalu ingat bentuk tariannya, yang gue inget hanyalah
ada sesi dimana kita semua muter ngejauh dari pasangan, terus balik lagi ke
pasangan kita. Nah ini. Saat kita kembali ke pasangan setelah berputar, anak
yang kita sebut kelelawar ini tiba-tiba berpasangan dengan Cindy. Padahal
dilatihan sebelumnya tidak pernah seperti itu. Mungkin dia mabuk.
Kekesalan itu memuncak disaat pentas akhir. Si kelelawar melakukannya
lagi di pentas sebenarnya. Dia merebut Cindy dari gue. Setelah sesi perputaran
itu, gue sudah berpasangan dengan yang lain. Hingga pentas itu usai, gue tidak
berpasangan dengan Cindy. Turun dari panggung, kita semua kembali berkumpul
dengan keluarga masing-masing. Begitu pula gue. Namun setelah berkumpul
sebentar, gue bergegas mencari Cindy. Namun gue tak berhasil menemukannya. Gue
akhirnya mengajak pulang keluarga gue. Kita semua pulang.
Gue sudah tidak bertemu dengan Cindy lagi. Gue pun masuk Sekolah Dasar
yang bersebelahan dengan TK gue dulu. Disana ada sebuah tangga menuju lantai
dua yang pemandangannya langsung menghadapa ke TK gue yang dulu. Gue dulu
sering ke tangga itu untuk melihat orang-orang yang bernasib seperti gue. Mungkin
mereka lebih berhasil dibanding gue. Yah mungkin perasaan itu hanyalah perasaan
yang lewat begitu saja. Namanya juga anak-anak. Tapi menurut gue cinta itu
tidak mengenal usia.
NB: harusnya masih berlanjut